Olok-olok terhadap status janda mengandung bibit-bibit kekerasan dan turut andil dalam mempertahankan KDRT
Kata ‘janda’ sendiri, menurut kamus, berarti perempuan yang tidak bersuami lagi ataupun bercerai dan di tinggal mati. Pada awalnya kata ini bermakna netral, namun lama kelamaan mengalami pembusukan. Seiring stigma negatif yang terus berkembang di tengah masyarakat pada perempuan yang tidak bersuami. Kata ‘janda’ kerap di gunakan atau olok-olok yang sifatnya seksis mulai dari tulisan belakang pengangkut truk hingga di tembok-tembok di pinggir jalan sampai berbagai meme yang bertebaran di media sosial dan grup pertemanan. Bagi pelaku yang menjadikannya sebagai bahan olok-olok tentu menyenangkan, tetapi bagi yang memanggul status tersebut tentunya amat menyakitkan.
Seorang kawan, yang telah bercerai selama lima tahun lebih memilih menutup rapat-rapat status sosial nya sebagai seorang janda karena takut cemo’oh masyarakat. Padahal ia berkerja keras untuk menghidupi ketiga anaknya dan tidak pernah merugikan siapapun. Ada juga beberapa perempuan yang menjelang hari raya bukannya merasa bahagia karena akan kumpul keluarga, malah merasa tertekan karena lagi-lagi harus menghadapi omongan keluarga tentang status jandanya.
Masyarakat Indonesia menganggap janda sebagai sosok yang tidak bermoral, dan hal ini menjadi akar atau dasar dari stigma. Stigma tersebut menyerang status moral dan identitas diri seorang perempuan, dan membuatnya sulit untuk menampilkan diri sebagai seorang perempuan terhormat, maka di anggap pantas di jadikan sebagai bahan olok-olok dan guyonan yang sebetulnya adalah bibit-bibit dari rusaknya moral.
Di sadari atau tidak oleh masyarakat, olok-olok status janda sebetulnya mengandung bibit kekerasan dan turut andil mempertahan kekerasan yang kerap kali terjadi dalam rumah tangga.
Pertama, olok-olok status janda memberi peluang terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan. Janda di anggap memiliki pengalaman seksual tetapi tidak terikat dalam pernikahan, maka ia di anggap ‘kesepian’ dan di jadikan target seksual oleh pria. Olok-olok itu sendiri sebetulnya sudah melakukan kekerasan verbal terhadap perempuan. Sayangnya masyarakat sudah tidak bisa lagi mana yang pantas di jadikan bahan bercanda dan mana yang tidak.
Padahal jika olok-olok dianggap sebagai sebuah kewajaran, maka peluang untuk berkembang terjadinya kekerasan fisik dan batin perempuan juga besar.
Kedua, karena takut dengan stigma negatif dan olok-olok masyarakat terhadap janda, banyak perempuan yang memilih untuk tetap berada dalam perkawinan meskipun ia sendiri tidak bahagia, karena, misalnya, suami berselingkuh atau suami melakukan kekerasan. Ini berarti para penggemar guyonan status janda turut melestarikan kekerasan terhadap perempuan dan rumah tangga. Kalaupun memutuskan untuk bercerai, para perempuan ini kemudian memilih untuk menutupi hal tersebut rapat-rapat.
Anggota keluarga juga berpotensi melakukan kekerasan dengan melarang anggota kelurga yang berstatus janda keluar rumah karena di anggap telah mencoreng nama baik keluarga atau cepat-cepat memaksanya untuk menikah lagi agar terhindar dari aib.
Ketiga, mereka yang kerap kali mengatai dengan sebutan ‘janda’ sebenarnya mendorong pengucilan sosial pada salah satu kelompok anggota masyarakat, membuat para janda kehilangan kesempatan untuk mendapatkan dukungan, memberi manfaat pada masyarakat dan mencari nafkah. Bibit kekerasan yang muncul bersifat sosial sekaligus ekonomi, padahal banyak dari mereka ini adalah kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Bagaimana bisa fokus bekerja dan mencari nafkah, jika terus menerus di hantui oleh rasa takut di jadikan sebagai obyek pelecehan seksual di tempat kerja?