NALAR KRITIS MATI ATAU DI MATIKAN?

seorang mahasiswa bertanya pada dosen pendidikan Agama-nya di kampus “Pak apa bukti Surga dan Neraka? Sang pendidik/dosen mengerenyitkan alisnya. Tampaknya dia kesal dengan pertanyaan yang tidak layak dilontarkan oleh seorang mahasiswa tadi di negara yang merasa paling “beragama” di dunia. Sang dosen bukannya menjawab dan malah menghakimi mahasiswa tersebut.
Kamu habis baca buku apa hey?!, sudah jadi kafir ya kamu?!”. Si mahasiswa malah bingung dan ketakutan, namun keberanian dan adrenalin tiba – tiba mengalir deras di sekujur tubuhnya sembari mengajukan pertanyaan yang dia tidak tahu bahwa pertanyaan berikut itu justru membuat dosen nya semakin geram, “Pak, ‘Jika Surga dan Neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepadaNya?'”.
Nasib si mahasiswa berakhir tidak di izinkan masuk di ruangan kelas selama jam makan siang.

Itu hanya sebuah cerpen yang diilhami dari kisah nyata -kisah pribadi yang di hiperbola- yang mungkin bisa kita gali apa makna dari cerpen di atas.

Si mahasiswa mengungkapkan rasa ingin tahunya tentang sesuatu yang besar, yang mungkin menghantuinya selama menuju tidur di malam hari. Mungkin pula si mahasiswa tadi baru saja mendengar lagu dari Chrisye feat Ahmad Dhani yang berjudul “Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada” atau mungkin membaca buku” filsafat, bacaan dan Lagu tersebut merupakan pertanyaan kritis terhadap pemahaman manusia tentang surga dan neraka.
Berfikir kritis sendiri merupakan cara berfikir yang tidak lekas percaya dan tajam dalam penganalisisan. Lalu bagaimana jika si mahasiswa tadi tidak lekas percaya dengan lekas percaya terhadap surga dan neraka, malahan dapat tuduhan dari sang dosen.

Deskripsi sederhana demikian, adalah sangat mirip dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di abad-abad ke-13, di mana otoritas gereja dan hukum gereja lebih dominan dari pada mengedepankan rasio, dan kita tidak ingin lagi kembali pada zaman yang dogmatis dan takut di bongkar ketidakcukupan pikiran nya. Karna itu, kita ambil langkah alternatif untuk menganut sistem demokrasi, yang di dalamnya orang tak lagi pergi pada semacam ketakutan untuk mengucapkan pikiran nya, Karena merasa di lindungi oleh demokrasi.

Nalar kritis dan berpikiran radikal, seharus di lestarikan di dalam kampus, bukan mendogmatisasi ilmu pengetahuan, melainkan membuka ruang yang sebesar mungkin untuk di jadikan peternakan pikiran mahasiswa. Supaya ada debat, diskusi, dialegtika dan saling tukar pikiran dan pendapat. Kadangkala, hal remeh temeh semacam ini tidak dapat di pahami oleh si pendidik yang berwatak dan bermental kolonial, dengan iming-iming tidak mengedepankan sopan santun di dalam bertutur kata. Padahal, sejarah awal konstitusi adalah di hasilkan dengan debat habis habisan, bukan saling ngangguk-mengangguk di ruang kelas, bukan sekedar mendengarkan ocehan pendidik.
Berbeda sekali dengan sistem pendidikan di barat, Amerika misalnya. Amerika punya konsep kebebasan atau yang lebih di kenal dengan istilah “liberalisme”. Sehingga secara konseptual, ada peluang orang untuk saling bercakap-bercakap dan mendiskusikan segala hal, di kita terlalu fanatik dan kuno terhadap sopan santun, dan fanatik, kekunoan itu tidak cukup kuat untuk menghasilkan pikiran yang lebih tajam dan kritis.

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai